Karena sahabatnya meninggal Halimah sadar. |
spirit.my.id – Sebelum penampilannya seperti sekarang yang Islami, siapa sangka gadis remaja ini dulunya adalah anak punk.
kerudung dipakai jika keluar rumah saja, tapi begitu ngumpul bareng sohib – sohibnya anak punk dibuka, rok diganti dengan celana ketat, lalu nonkrong di jalan sambil hura – hura.
Malahan, pernah sampai papalidan hanya sekedar kepengen lihat tim kesayangannya, Persib Bandung berlaga…begitulah anak punk.
Padahal bila ditelisik Halimah Tussyadiah, namanya bukan berasal dari keluarga berantakan bahkan sebaliknya religius.
Ya, kebadungan sang gadis sudah dimulai sejak kelas empat SD, semakin parah kala bersahabat dengan seorang anak bernama Wulandari (satu kelas), anak seorang penyanyi asal Jakarta.
Mayoritas teman Wulandari adalah anak jalanan, otomatis Halimah masuk dalam lingkaran pergaulan yang tidak sehat.
Melihat gelaja kurang baik, orang tuanya segera memasukan ke pesantren (saat masuk SMP). Halimah tak bisa berkutik, dirinya menyerah.
Namun ternyata, di Pesantren, kelakuannya tak berubah malah semakin menjadi, aturan ketat tak dipatuhi bahkan guru di sekolah pun dilawan, maka tak heran Halimah sering kena damprat kepala pondok dan diultimatun akan dikeluarkan dari Pesantren.
Tapi, Halimah tak menggubrisnya.
Demikian pula, jika pulang ke rumah, Halimah kolingan dengan sahabatnya Wulandari and the gang (anak punk), terminal dan rel kereta api menjadi tempat asik asikan.
Orang tuanya dibikin stres, tapi, mojang kelahiran 3 Desember 2000 itu cuek, sampai orang tuanya jatuh sakit.
Kondisi ini berlangsung sampai kelas sembilan SMP, kala sohibnya Wulandari, pamitan pindah kembali ke Jakarta untuk mengikuti jejak profesi orang tuanya sebagai penyanyi.
Tapi, sang sahabat tak bisa meneruskan cita – citanya, sebab keburu meninggal karena kanker otak dikala sedang menyaksikan orang tuanya sedang menyanyi di atas panggung.
“Dari situ sadar, ternyata mati bisa dimasa saja,” katanya pada redaksi.
Habis kejadian itu Halimah berubah total. Ia ingin membukikan pada kedua orang tuanya kalau dirinya sebenarnya anak baik.
Ia juga tak ingin teman – teman di sekolah memandang lagi remeh. Halimah ingin menunjukan bahwa ia bisa berprestasi.
Dan benar, di semester dua, Halimah menjadi Ketua OSIS dan juara Tazwid Qur’an.
“Sampai waktu itu, dikamar mandi sampai bawa – bawa Al-Quran pengen berubah sampai akhirnya Alhamdulillah bisa ngebuktin,”tandasnya.
“Yang Halim tahu, kebanyakan mereka itu orang yang broken home. Mereka mempunyai masalah yang sangat besar dan tidak ada orang lain yang bisa memecahkan dan akhirnya mereka seperti itu,”pungkasnya.
(Res)