Photo fb Chicha Koeswoyo bersama sang ibu. |
spirit.my.id
Chicha merupakan anak dari Nomo Koeswoyo dan Fatimah Fransisca. Terlahir, Chicha beragama Nasrani, mengikuti jejak sang ibu, namun pada tahun 1985, Chicha pindah agama menjadi Islam.
Jika melihat trah atau keturunan ayahnya Koswoyo, masih garis keturunan kedelapan Sunan Muria, di Tuban Jawa Timur.
Chicha tidak hanya artis penyanyi, ia juga main film layar lebar dan selalu sukses dipasaran. Salah satu filmnya yang terkenal adalah saat ia main bareng bersama Adi Bing Slamet. Di antara film yang dibintanginya adalah Chicha (1976) ia berperan sebagai Chicha. Film Gejolak Kawula Muda (1985) bersama
Rico Tampatty. Di sini ia pun berperan sebagai Chicha. Dan fim Idola Remaja
(1985), ia juga berperan sebagai Chicha.
Artikel Terkait :
https://spirit.my.id/2020/05/karena-adegan-sholat-george-rudy-peluk.html
https://spirit.my.id/2020/04/ayana-jihye-moon-makin-bahagia-setelah.html
Keputusannya masuk Islam diikuti oleh saudara sepupunya,
Sari Yok Koeswoyo pada tahun 1986. Kemudian pada awal tahun 1989, adik
kandungnya, Hellen, mengikuti jejaknya berikrar mengucapkan dua kalimah
syahadat.
Sementara adik bungsunya Reza Wicaksono Koeswoyo telah memeluk Islam
mengikuti ayahnya sejak kecil.
Awal mula wanita dengan nama lahir Mierza Riadiani ini, peluk Islam dari hal yang tidak diduga – duga.
Berikut kisah lengkapnya perjalanan Chicha Koeswoyo memeluk Islam yang mengharukan dikutip dari facebook pribadinya.
MAMAKU PEREMPUAN LUAR BIASA
Namaku Chicha. Aku lahir dari orangtua yang berbeda agama.
Papaku, Nomo Koeswoyo, beragama islam dan masih keturunan Sunan Drajat, salah
seorang Wali Songo. Seorang wali yang sangat terkenal sebagai penyebar agama
Islam di wilayah Jawa Timur.
Mamaku seorang perempuan Kristen yang taat. Beliau masih
berdarah Belanda. Dan banyak saudara-saudara dari pihak Mama yang menjadi
pendeta. Walaupun berbeda agama, Papa dan Mama tidak pernah mempunyai masalah.
Keduanya hidup berbahagia dan saling menghargai kepercayaan masing-masing.
Sejak kecil aku dididik secara Kristen. Seperti anak-anak
Kristen lainnya, aku diikutsertakan di sekolah Minggu. Setiap kali pergi untuk
melaksanakan kebaktian, Papaku sering mengantarkan kami ke gereja. Intinya,
kami adalah keluarga yang sangat berbahagia. Baik hari Natal ataupun Hari
Lebaran, rumah kami selalu meriah. Semua bersuka-cita merayakan kedua hari
besar tersebut.
Usiaku sudah menginjak 16 tahun dan duduk di bangku kelas 1,
SMA Tarakanita. Rumah tempat tinggal kami sangat berdekatan dengan masjid.
Terus terang, aku sangat terganggu dengan suara azan, apalagi di saat magrib.
Suara azan dari Toa masjid begitu keras dan sangat memekakkan telinga. Belum
lagi suara azan dari televisi. Setiap kali azan magrib berkumandang, aku matikan
televisi karena di semua chanel, semua stasiun menayangkan azan yang sama.
Di suatu magrib terjadilah sebuah peristiwa yang tidak
disangka-sangka. Ketika itu azan magrib muncul di layar TV. Seperti biasa aku
mencari remote control untuk mematikan televisi. Namun hari itu aku tidak bisa
menemukannya. Dengan hati kesal kutelusuri sela-sela sofa, kuangkat semua
bantal, kuperiksa kolong meja tapi alat pengontrol jarak jauh itu tidak juga
terlihat. Karena putus asa, aku terduduk di sofa lalu duduk menatap layar TV
yang sedang menayangkan azan dengan teks terjemahannya. Lalu apa yang terjadi?
Sekonyong-konyong hatiku menjadi teduh. Baris demi baris
terjemahan azan tersebut terus kubaca dan entah karena apa, hati ini semakin
sejuk. Aku seperti orang terhipnotis dan tubuh ini terasa sangat ringan dengan
perasaan yang semakin lama semakin nyaman. Di dalam benak ini sekan-akan ada
suara yang berkata padaku, “Sampai kapan kau mau mendengar panggilanKu, Chicha.
Sudah berapa tahun Aku memanggilmu, masihkah kau akan terus berpaling dariKu?”
Lalu aku menangis. Entah karena sedih, marah, bingung,
galau, hampa, takut atau mungkin juga semua perasaan itu ada dan berbaur
menjadi satu. Aku terus menangis tanpa tau harus melakukan apa.
Chicha dan suami |
Esok harinya, aku curhat pada adikku. Kami berdua memang
sangat dekat satu sama lain. Adikku ini ternyata sangat berempati atas apa yang
menimpaku. Dia tidak mengeluarkan satupun kata yang menyalahkan kakaknya bahkan
dia berkata, “Aku akan support apapun kalau itu memang membahagiakan Kakak.”
“Terima kasih, Dik. Sekarang ikut, Kakak, yuk?”
“Ikut ke mana?” tanyanya.
Dengan diam-diam kami berdua pergi ke sebuah toko muslim
yang letaknya tidak jauh dari rumah. Di sana kami membeli mukena, Kitab Suci
Al’Quran dengan tafsir dan terjemahannya. Tidak lupa sebuah buku yang berjudul
‘Tuntunan Sholat’.
Sesampainya di rumah, kami berdua mempelajari cara berwudhu,
melakukan sholat dan menghafal bacaannya. Setelah dirasa mampu, kami berdua mencoba mendirikan sholat
bersama-sama. Perbuatan kami tentu saja di luar pengetahuan kedua orangtua.
Pernah suatu kali Mama mengetuk pintu dan sangat marah karena kami mengunci
kamar dari dalam. Begitu mendengar teriakan Mama, secepat kilat kami membuka
mukena dan menyembunyikannya di laci paling atas.
“Dengar, ya, Nduk! Kalian nggak boleh mengunci pintu kamar.
Selama kamu tinggal di rumah Mama, kalian ikut peraturan Mama,” bentak ibuku
dengan galak.
“Iya, Ma,” sahutku dengan suara perlahan karena tak ingin
ribut dengan Mama apalagi kami sangat perlu menjaga kerahasiaan ini.
Waktu terus berlalu. Bulan Ramadhan pun datang. Tentu saja
di bulan suci seperti ini, kami juga ingin melakukan puasa seperti muslim
lainnya. Berpuasa dari waktu subuh sampai magrib sebetulnya sama sekali tidak
sulit. Masalah yang lebih pelik datang setiap kali Mama mengajak makan bersama.
Mama tentunya curiga karena kami berdua selalu menolak.
“Aku udah makan di sekolah tadi, Ma,” kataku dengan suara
bergetar.
Mama menatap saya dengan tajam. Sepertinya dia telah mencium
ada yang tak beres dengan kami berdua. Ketegangan pun terjadi. Buatku itu
adalah saat yang sangat menegangkan sampai akhirnya Mama menghela napas panjang
dan berkata, “Baiklah kalau begitu.”
Bulan penuh rahmat berlalu. Suara takbir yang begitu merdu
di telinga berkumandang. Idul Fitri adalah hari kemenangan dan kami tidak mau
kehilangan momen untuk sholat bersama Jemaah yang lain. Aku dan Adikku
berdiskusi menyusun strategi bagaimana cara pergi ke masjid tanpa sepengetahuan
orang rumah.
Esok harinya, sekitar jam 6.30 pagi, kami mengendap-endap
membuka membuka pintu depan. Setelah itu membuka pagar sampai terbuka lebar.
Kami berdua mendorong mobil dalam keadaan mesin mati supaya tidak terdengar
oleh orangtua kami yang masih tenggelam dalam nyenyak. Pada satpam yang menjaga
rumah, aku berpesan, “Kalau ada yang tanya, bilang kami mau latihan basket, ya,
Pak?”
“Siap, Non!” kata Sang Satpam entah curiga atau tidak.
Setelah mobil dirasa cukup jauh, aku menghidupkan mobil dan
meluncur langsung ke masjid terdekat. Sesampainya di sana, banyak
tetangga-tetangga menatap kami dengan paras keheranan. Mereka tentu saja
bingung karena semua orang tau bahwa aku beragama Kristen. Bahkan barisan
ibu-ibu yang duduk tepat di depan kami langsung mendekatkan kepalanya dan
berbisik kepada kami.
“Cha, ngapain kamu di sini? Sholat Idul Fitri itu buat kaum
muslim. Kamu kan Kristen?”
ibu-ibu lain terus berkasak-kusuk sambil menengok bahkan ada yang
menunjuk-nunjuk ke arah kami. Kami
bergeming dan tidak mempedulikan sikap orang yang merasa aneh dengan kehadiran
kami. Dan akhirnya sholat Idul Fitri dapat kami ikuti dengan sukses. Dengan
hati berbunga-bunga kami kembali pulang. Alhamdulillah.
Baru saja sampai di depan pagar, di depan rumah telah
berdiri Papa dan Mama. Mereka membantu membuka pagar, membuka pintu mobil lalu
Mama langsung menlontarkan pertanyaan tanpa basi-basi.
“Dari mana kalian?” tanya Mama dengan suara keras.
“Abis latihan basket, Ma,” sahutku. Kami berdua memang telah
berganti pakaian dan semua mukena dan sajadah sudah dimasukkan ke dalam tas
dengan rapih.
“Kalian jangan berbohong, ya? Mama menangkap ada yang aneh
dengan kalian berdua,” kata Mama lagi.
Aku menatap Mama yang nampak sangat kesal. Sementara Papa
cuma cengar-cengir bahkan mengedipkan sebelah matanya pada kami.
“Kami latihan basket, Ma. Masa Mama gak percaya sama anak
sendiri?” kata adikku.
Rupanya omongan Adik membuat hati Mama tersentuh juga.
Seperti sebelumnya, dia menatap kami bergantian dengan tajam, menghela napas
panjang lalu berkata dengan suara halus, “Hmm…baiklah kalau begitu.”
“Yuk, kita ke atas, Ma,” kata Papa sambil menggamit tangan
Mama untuk mengajaknya pergi dari situ. Sebelum masuk ke dalam rumah. Papa
sempat-sempatnya menengok ke arah kami dan mengedipkan sebelah matanya sekali
lagi sambil tersenyum dengan paras jail…
Aku masih termangu-mangu di depan rumah. Kecurigaan Mama
mulai menghantui perasaanku. ‘Sampai berapa lama aku bisa mempertahankan
rahasia ini?’ tanyaku dalam hati. ‘Daripada Mama yang menemukan rahasia ini,
bukankah beliau lebih baik mengetahui semuanya langsung dari anaknya sendiri?’
“Mama!” Aku memanggil dan mengejar Mama yag sudah berada di
dalam rumah.
Mama dan Papa membalikkan badan dan menunggu apa yang akan
disampaikan anaknya. Kembali kediaman berulang. Sesaat aku gentar hendak
menyampaikan berita ini.
“Ya, Cha?” Kamu mau ngomong apa?” tanya Papa.
Keheningan kembali mendominasi. Bibirku bergetar. Semua kata
dalam tenggorokan telah berkumpul dan berdesak-desakan untuk keluar dari bibir.
Aku masih diselimuti kebimbangan. Ngomong, jangan, ngomong, jangan, ngomong,
jangan….
“Chicha masuk Islam, Ma. Chica masuk Islam, Papa. Chicha
minta maaf tapi Chicha mendapat hidayah dan tidak bisa menolak panggilan itu.”
Akhirnya tanpa dikendalikan oleh otak semua kata terlontar begitu saja.
‘Alhamdulillah!” Di luar dugaan Papa berteriak kegirangan
mendengar berita tersebut. Tidak cukup melampiaskan kegembiraannya dengan cara
itu, beliau langsung berlutut di lantai dan melakukan sujud syukur atas hidayah
yang didapat anaknya. Melihat sikap Papa, aku tentu saja menjadi lebih tabah.
Dengan penuh harap, aku memandang Mama, berharap mendapat dukungan yang sama.
Mama menatapku dengan pandangan tidak percaya. Matanya
melotot, dadanya kembang kempis dan bibirnya bergetar hebat.
“Hueeeeek…!!!!” Tanpa diduga tiba-tiba Mama muntah darah dan
tubuhnya sempoyongan, untungnya Papa dengan sigap menangkap tubuh Mama dan
mendudukkannya di sofa.
“Mamaaaaaa….!!!” Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana
tidak sedih? Tidak ada kesedihan yang paling menyakitkan kecuali mengetahui
bahwa kita telah menyakiti hati ibu kita sendiri.
Papa mengurus Mama dengan telaten. Perlahan-lahan kesehatan
Mama berangsur-angsur membaik. Tapi sejak peristiwa itu, Mama tidak mau lagi
berbicara denganku. Selama ini, Mama dan aku hubungannya sangat dekat. Melihat
Mama bersikap seperti itu, aku sedih sekali. Berkali-kali aku mengajak Mama
berbicara tapi beliau tidak menyahut sehingga aku memutuskan untuk mengalah dan
membiarkannya sendiri. Itu adalah salah satu periode hidup yang paling menyiksa
buatku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa pasrah dan menunggu perubahan
sikap Mama.
Bulan demi bulan berlalu. kami masih belum berkomunikasi
satu sama lain. Mama sering meninggalkan rumah. Entah kemana. Aku nggak berani
bertanya, takut malahan membuatnya lebih marah. Sudah 3 bulan aku tidak
berbicara dengan Mama. Hari-hari yang kuhadapi sering aku isi dengan mengurung
diri di kamar sambil membaca sejarah para Nabi. Terutama kisah-kisah Rasullulah
yang membuatku semakin mantap menjadi seorang muslim.
BRAK! Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan suara keras. Aku menengok
dan terlihat Mama masuk dengan membawa sebuah kotak yang cukup besar. Parasnya
dingin dan sulit ditebak apa yang ada di pikirannya.
“Nduk, Mama mau tanya. Kamu harus menjawab dengan tegas!”
katanya.
“Iya, Ma,” sahutku dengan suara hampir tak terdengar. Dalam
hati aku bersorak karena akhirnya Mama mau berbicara lagi.
“Kamu sudah mantap mau masuk islam?” tanyanya lagi tanpa
basa-basi.
“Mantap, Ma. Chicha rasa ini benar-benar panggilan Allah,”
jawabku pelan tapi tegas.
“Okay, kalau begitu,” kata Mama lalu dia mengangsurkan kotak
yang dibawanya ke tanganku.
Dengan terheran-heran, aku menerima kotak tersebut, “Apa
ini, Ma?”
“Nggak usah banyak tanya. Kamu buka aja kotak itu sekarang
juga.”
Dengan gerak perlahan, aku membuka kotak tersebut. Masya Allah!
Ternyata isinya adalah Kitab Suci Al Quran, mukena, kerudung, buku-buku agama
Islam yang lumayan tebalnya. Aku menatap Mama dengan pandangan bertanya.
Mama membalas menatapku dengan tajam, “Kalau kamu ingin
menjadi Islam, be a good one!”
Mendengar perkatannya, aku menangis dan menghambur ke
pelukan Mama. Mama memeluk aku seerat yang dia bisa. Tangisku makin
menjadi-jadi dan membasahi baju Mama di bagian dada.
Setelah tangis mereda, Mama bertanya lagi, “Kamu sudah resmi
masuk islam?”
“Chicha udah ngucapin dua kalimat syahadat, Ma.”
“Disaksikan oleh ustad atau Kyai?”
“Nggak sih, Ma. Chicha ngucapin sendiri aja.”
“Berarti kamu belum resmi masuk Islam. Besok Mama akan antar
kamu ke Mesjid Al Azhar di Jalan Sisingamangaraja. Mama udah bikin janji dengan
Kyai di sana untuk mengislamkan kamu.”
“Huhuhuhuhuhu…” Aku nggak sanggup untuk mengatakan apa-apa
kecuali memeluk Mama lagi sambari menangis menggerung-gerung. Setelah perlakuan
Mama yang mendiamkan aku selama tiga bulan, siapa sangka Mama akan bersikap
begini akhirnya. Mamaku memang luar biasa.
Esok harinya, di Mesjid Al Azhar, aku resmi memeluk agama
Islam di usia 16 tahun. Ah, bahagianya sulit dilukiskan. Setelah ritual
mengucapkan dua kalimat syahadat berakhir, aku menarik Mama untuk menuju ke
mobil dan kembali pulang ke rumah.
“Eh, tunggu dulu, Nduk. Sekarang kamu harus ikut Mama ke
belakang.”
“Ke belakang mana, Ma?” tanyaku keheranan.
Ke SMA Al Azhar. Kamu harus pindah sekolah ke sana.”
“Loh? Kenapa harus pindah? Chicha udah betah sekolah di
Tarakanita. Semua teman-teman Chicha ada di sana. Chicha nggak mau pindah.”
“Nduk! Denger kata Mama. Kalau kamu serius pindah ke Islam,
kamu nggak boleh setengah-setengah.”
“Maksudnya gimana, Ma?”
“Tarakanita itu sekolah Kristen. Kalau kamu pindah Islam
maka kamu harus bersekolah di sekolah Islam. Sekali lagi Mama bilang, kamu
nggak boleh setengah-setengah. Ini peristiwa besar dan pilihan hidup kamu. Mama
mau kamu total dalam menyikapi pilihan kamu sendiri.”
Lagi-lagi sikap Mama membuatku kagum bukan main. Sepertinya
dia telah mempersiapkan semuanya dengan baik dan terencana.
“Mama kok bisa-bisanya punya pemikiran seperti ini?” tanyaku
penasaran.
Mama menghela napas panjang lagi lau berucap, “Sejak kamu
mengatakan mau masuk Islam, Mama sering berkonsultasi dengan teman Mama yang
muslim. Mama minta pendapat dia dan dia banyak menasihati Mama soal ini.”
“Oh, pantes Mama sering pergi belakangan ini. Biasanya kan
Mama selalu di rumah.”
“Iya, Cha. Mama butuh support dan teman Mama itu sangat
membantu sehingga membuat Mama jauh lebih tenang.”
“Kalau boleh tau, teman Mama siapa namanya?” tanyaku lagi.
“Namanya Doktor Zakiah Darajat.”
“Itu temen Mama? Wah dia orang hebat di kalangan Islam, Ma.”
“Betul. Nama belakangnya mirip dengan Sunan Drajat, leluhur
Papa kamu. Jadi setelah kamu resmi masuk Islam, rasanya kamu juga perlu
berziarah ke makam beliau.”
Sekali lagi aku memeluk Mamaku. Jadi selama tiga bulan ini,
dia mendiamkan anaknya bukan karena hendak mengacuhkan tapi beliau tidak tau
harus bersikap bagaimana. Beliau hendak mencari penerangan pada apa yang
terjadi pada anaknya. Sudah pastilah Mama kebingungan tapi akhirnya setelah
mendapat pencerahan dari Doktor Zakiah Darajat, Mama sekarang malah mendukung
pilihan anaknya. Pilihan anak yang berbeda dengan keyakinannya. Ah Mamaku
memang luar biasa.
Baca Juga :
https://spirit.my.id/2020/12/begini-perjalanan-mualaf-dj-katty-peluk.html
https://spirit.my.id/2020/09/nick-kuipers-timnya-masih-ada-kelemahan.html
Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya aku hendak mengajak
Mama untuk turut memeluk agama Islam. Tapi aku mengurungkan niat itu. Apa yang
terjadi padaku pastilah sudah berat buat Mama. Bagaimana mungkin aku mampu
mempengaruhinya sementara saudara-saudaranya banyak yang menjadi pendeta. Beban
Mama sudah sangat berat. Semua butuh waktu. Kalau memang Allah SWT mengizinkan,
apa yang untuk manusia pikir tidak mungkin pastinya akan terjadi jika Allah
berkehendak.
Waktu berjalan tanpa pernah berhenti. Dengan hati tenteram,
aku menjalani hidup sebagai perempuan muslim. Tahun 2002, Mama meninggal dunia.
Tiga bulan sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau juga menjadi
mualaf dan memeluk agama Islam. Alhamdulillah! Terima kasih, ya, Allah. Ah
Mamaku memang luar biasa.
(Res)